“Tin Panda Collection” Pengusaha Boneka yang Tak Lulus SD

Saturday 26 October 2013

Pengusaha boneka dari Magelang, Jawa Tengah ini pemenang Citi Micro-entrepreneurship Award (CMA) tahun 2007. Diberhentikan dari tempat bekerja mendorongnya untuk memulai usaha.Ditemui disela-sela peluncuran gelaran CMA 2013 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Rabu (28/8/2013) lalu, Bu Tin, demikian ia kerap disapa, berbagi cerita bagaimana awalnya ia memulai usaha boneka dan memberi kontribusi terhadap lingkungan sekitarnya. 
Bu Tin hanya lulus SD, dan bekerja serabutan. Pada tahun 1998, ia diberhentikan dari perusahaan. Sewaktu keluar dari pabrik, Bu Tin menganggur dua bulan. Karena pengeluaran tetap ada, mau tidak mau ia harus mendapatkan penghasilan.
Dengan modal yang dulu dikumpulkan dari pendapatannya, sebesar Rp 2,5 juta, dia memulai membuat boneka. Usaha kecil-kecilan ini menjadi harapan dan tumpuannya untuk menopang hidup. Mbak Tin, begitu dia kerap disapa, lalu membuka usaha boneka di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Ia menggelontorkan dana Rp 2,5 juta sebagai modal awal untuk membeli bahan. Di tengah usahanya mengembangkan bisnis boneka, krisis ekonomi menghantam. Tapi, ia bersyukur, karena bisnis bonekanya bisa tetap berjalan.

“Alhamdulillah, walaupun krisis, masih bisa jalan. Istilahnya, berhenti sebentar. Terus saya berpikir kalau gini terus nggak maju, lalu saya pinjam ke bank. Tahun 1999-lah, saya meminjam ke bank.” Waktu meminjam pertama kali, ia mendapat Rp 5 juta. Setelah itu, kucuran dana yang diberikan bank pun bertambah. “Setelah itu, kan naik, bisa Rp 10 juta. Sekarang sudah dipercayalah,” imbuh Tin.
"Saya punya tanggungan anak yang mesti dikasih makan. Saya tidak mau dia seperti saya, dan mesti menjalani pendidikan tinggi. Karena itu saya memulai usaha sendiri," ujar ibu dua anak ini meyakinkan.

Saat memulai usaha, dirinya sempat terpikir apakah usahanya akan laku atau tidak. Meskipun demikian dia tetap menjalani. Kendalanya waktu itu modal dan memasarkannya. Bu Tin masuk keluar toko tanpa rasa malu. Motivasi utamanya adalah bagaimana bisa meneruskan pendidikan anak ke jenjang yang lebih tinggi. 
Sampai setahun lamanya, toko-toko yang ada di objek wisata yang ia kerap kunjungi tahu usaha boneka yang dia buat. "Awalnya selalu ditolak, namun saya bersikeras ketemu dengan pemilik toko," ujar Bu Tin bercerita.
Usaha keras itu menjadi pelajaran dan sekaligus membuahkan hasil. Usahanya kemudian mendapat tempat dan diminati. Dalam prosesnya, Bu Tin yang tahun ini berusia 40 tahun, melatih ibu-ibu yang ada di sekitar rumahnya membuat boneka. Ada sekitar delapan ibu yang ia rekrut untuk membuat pola, menjahit, serta membuatnya jadi boneka. Patokannya jangan sampai jelek dan mengecewakan. 
Dalam sehari, seorang ibu bisa membuat 100 boneka kecil atau 30 boneka berukuran besar. Bu Tin kemudian lebih fokus pada pemasaran terhadap boneka yang sudah dibuat ini. 
Produksi pun sifatnya menetap. Tidak berfluktuasi sesuai dengan pesanan. Ia mengatakan, itu dilakukan agar ada stok ketika pesanan sedang melonjak, seperti di masa liburan dan lebaran.

Mengenai pemasaran, boneka “Tin Panda Collection” ini sudah merambah daerah di luar Pulau Jawa, yaitu sampai ke Sorong dan NTT. Boneka bisa didapatkan tidak hanya berdasarkan pesanan, tetapi juga tersedia di supermarket, misalnya di Trio Plaza. Ia lalu menuturkan, “Sebenarnya toko-toko yang lain mau, tapi saya cari yang cash soalnya modal saya masih kurang.” Tin pun memiliki cita-cita, bonekanya bisa sampai ke luar negeri suatu hari nanti.
Usaha boneka yang ia lakoni ini sekarang telah memberikan hasil. Karena keseriusannya, saat ini per bulan Suratinah mendapat pemasukan antara Rp 30 juta sampai Rp 50 juta.


Dari Berbagai Sumber