Selamet Wuryadi Profesor Puyuh Ber Omzet 4 Milyar.

Friday 11 April 2014


"SAYA ingin jadi profesor puyuh," ujar pemilik CV Slamet Quail Farm sekaligus Ketua Asosiasi Puyuh Indonesia, Slamet Wuryadi, saat mengikuti Pesta Patok (pesta peternak) di Gasibu, Bandung, Rabu (25/9/2013).

Menurut dia, sangat membanggakan menjadi orang pertama di Indonesia yang meraih gelar profesor soal puyuh. Ia mengaku jalan mencapai cita-cita itu terbuka lantaran ada tawaran dari sebuah universitas di Belanda dengan dibiayai pemerintah Belanda. Namun, ia mengaku sedang mempertimbangkan tawaran itu. "Kalau ke Belanda, berarti saya harus meninggalkan usaha ternakpuyuh," ujar dia. Karena itu, Slamet berencana mengajukan diri ke Institut Pertanian Bogor (IPB).

Wajar bila Slamet tak mau berjauhan dengan ternak puyuhnya. Pria itu meraih gelar S1 dan S2 di IPB dari hasil beternak puyuh. "Saya hanya bermodal baju empat, celana empat, serta uang Rp 175 ribu," ujar pria yang memulai usaha ternak puyuh pada 1992 itu.


Slamet menyatakan, sejak beternak puyuh 21 tahun lalu, ia tak pernah menjual puyuh dan telur puyuh di bawah modal. "Itu berarti, saya untung terus," katanya. Ia menyatakan ada empat alasan beternak puyuh selalu meraih untung dan menjadi peluang usaha yang menggiurkan.

Pertama, penawaran dan permintaan tak seimbang. Puyuh yang tersedia di Indonesia baru memenuhi 15 persen kebutuhan nasional sehingga harga relatif terjaga. Kedua, meskipun stok dalam negeri kurang, tak ada impor. "Korporasi belum masuk (ke peternakan puyuh)," ujarnya.

Slamet mengaku pernah menolak tawaran kerja sama dengan pengusaha Malaysia. "Tiap penjual cash and carry. Tak ada sistem utang," katanya. Itu adalah keuntungan ketiga beternak puyuh sehingga bisa segera menambah modal usaha.

Faktor keempat adalah empat keuntungan puyuh, yakni jual puyuh hidup, daging puyuh, telur, dan kotoran. Selain beternak puyuh, Slamet juga memproduksi makanan olahan dari daging serta telur puyuh, seperti bakso dan telur puyuh asin.

Sebungkus berisi 20 butir telur puyuh asin dibanderol dengan harga Rp 15.000. Kotoran puyuh diolah menjadi pupuk organik bagi tanaman tomat dan stroberi. Selain itu, dia mengaku sedang mengkaji pengolahan kotoran puyuhmenjadi biogas. "Dari hulu sampai hilir dan pascapanen terurus. Sehari ada delapan ton kotoran puyuh," ujar dia.

Sejauh ini, Slamet bukan hanya peternak, melainkan juga pengajar tentang puyuh keliling tanah air, bahkan luar negeri seperti Malaysia dan Brunei Darussalam.

Pada Oktober nanti, ia terbang ke Korea Selatan untuk mengajar mengenai puyuh. Penerbangan ke Kenya, Afrika, pun menantinya setelah itu. Di tanah air, Slamet mempromosikan puyuh melalui tiga buku yang ia tulis. "Saya harus mempromosikan puyuh karena itu ternak lokal Indonesia," katanya.

Beternak puyuh, ucapnya, bisa balik modal sebelum tujuh bulan sejak memulai usaha. Misalnya, seorang memulai dengan modal Rp 15,3 juta untuk beternak 1.000ekor puyuh di atas lahan 2x10 meter termasuk lima kandang, dan pakan puyuh petelur selama sebulan.

Dengan asumsi produktivitas 75-80 persen, peternak itu bisa mendapat untung bersih Rp 99.000 per hari atau sekitar hampir Rp 3 juta per bulan. Penyakit yang menyerang puyuh, lanjut dia, relatif mudah ditangani seperti tetelo dan pilek.

“Untuk merawat 1.000 ekor, kegiatan  yang dilakukan adalah memberi makan, minum, mengambil telur, dan mengumpulkan kotoran. Pengerjaan itu hanya butuh waktu 45 menit saja, jadi sangat efisien. Apalagi kalau kita bisa mengusahakan populasi 6.000 ekor,” ujar Slamet yang telah beternak puyuh sejak 2002 ini. Karena itu menurutnya, usaha burung puyuh sangat menjanjikan.


Hal ini ditunjang kebutuhan pasar telur puyuh yang sangat besar. Slamet yang juga Ketua Umum Asosiasi Peternak Puyuh Indonesia ini mencatat, untuk wilayah Jabodetabek, Cianjur, Bandung, Bangka Belitung, dan Palembang, setidaknya butuh pasokan 8 juta butir telur puyuh per minggu. Sedangkan ia baru sanggup memenuhi pasar sebesar 2,1 juta per minggunya. Jadi, untuk pasar itu saja masih kekurangan sekitar 5,9 juta butir per minggu.

Harga Jual Bagus
Itu baru pasar di beberapa daerah di Indonesia, belum kebutuhan daerah-daerah lainnya. Tidak hanya pasar lokal, pasar luar negeri juga meminati telur puyuh asal Indonesia. Sebagai contoh, Bahrain pernah meminta Slamet untuk mengirim 3 kontainer daging puyuh setiap bulannya. Tiga kontainer setara dengan 9 juta ekor. Padahal setahu Slamet, di Sukabumi populasi burung puyuh baru sekitar 400.000 ekor.

Selain permintaan pasar telur burung puyuh besar, kelebihan lain adalah harga jual telur puyuh belum pernah di bawah harga BEP (Break Event Point)  usaha sebesar Rp. 180 per butir. Harga jual telur puyuh sekarang (bulan Oktober akhir 2012 ) berkisar  Rp 215-Rp 225 per butir. Malah jika telur diolah, harga jualnya bisa mencapai 4 kali lipat.  “Berbeda dengan telur ayam atau telur itik, telur puyuh biasanya dibeli pedagang secara tunai,” tambah pemilik CV. Slamet Quail Farm ini.

Pelaku usaha burung puyuh masih dilakukan langsung oleh UKM, koperasi atau peternak kecil dan bukan perusahaan besar. Sehingga posisi tawar peternak puyuh relatif lebih kuat. “BEP dari usaha puyuh bisa dicapai pada bulan ke 5-8. Saya sangat yakin usaha ini masih sangat menjanjikan sampai 15 tahun ke depan,” ucap Slamet yang mengaku kini memiliki aset senilai lebih dari Rp 4 milyar dari usaha puyuh.

Selama 18 Bulan
Untuk membudidayakan sekitar 1.000 ekor puyuh, menurut Slamet, dibutuhkan modal awal  Rp 14 juta-Rp 15 juta. Angka tersebut digunakan untuk pembuatan kandang, pembelian peralatan, puyuh anakan dan pakan grower yang diberikan selama 2 minggu pertama. Minggu berikutnya puyuh mulai beranjak remaja, pakan yang diberikan pun berbeda dengan pakan grower. Untuk kebutuhan pakan pada fase ini sampai seterusnya, dianggarkan sebesar Rp 100.000 per hari.

Pemberian pakan untuk anakan diberikan 2 kali sehari, yaitu pagi dan siang. Sedangkan puyuh remaja/dewasa diberikan 1 kali sehari yaitu di pagi hari. Pembelian pakan, baik grower maupun pakan lanjutan, bisa mudah didapatkan di pasaran. “Memang problem terbesar dari bisnis ini adalah besarnya biaya pembelian pakan, nilainya bisa mencapai 90% dari biaya produksi. Karena itu kami membuat pakan sendiri, yang kami gunakan sendiri dan dijual,” ujar Slamet yang punya populasi puyuh hingga  320.000 ekor.

Setelah 36-40 hari, puyuh sudah mulai bertelur. Dalam hitungan kasar, dari 1.000 ekor puyuh yang diusahakan diasumsikan 75%-nya menghasilkan telur atau sebanyak 750 butir per hari. Puyuh akan terus bertelur secara maksimal sampai usia 18 bulan. Setelah itu, puyuh tetap bertelur hanya saja produksinya sudah jauh menurun.

Agar bisa terus mendapat menghasilan, peternak sebaiknya mulai mempersiapkan anakan baru, sebelum puyuh berusia 18 bulan. Puyuh yang sudah memasuki usia 18 bulan tergolong afkir. Sehingga, kebanyakan peternak menjualnya. “Puyuh afkir dijual dan biasanya akan dipotong dan dijadikan puyuh pedaging. Permintaan akan daging puyuh juga cukup tinggi,” papar alumnus Fakultas Peternakan IPB ini.

Kolesterol Tinggi
Salah satu yang membuat orang “khawatir” mengkonsumsi telur adalah kandungan kolesterolnya yang tinggi. Informasi ini banyak dipercaya oleh konsumen. Dari hasil uji laboratorium yang pernah dilakukan Slamet, telur puyuh ternyata hanya mengandung kolesterol sebesar 500 mg/100 g, bukan 844 mg/100 g seperti informasi selama ini. Kandungan kolesterolnya pun masih terbagi atas HDL (Kkolesterol baik) dan LDL (kolesterol jahat). Sedangkan daging puyuh nyatanya mengandung protein tinggi yaitu sebesar 22,3%. Kotoran puyuh juga mengandungprotein tinggi, sehingga bisa menjadi pakan alternatif bagi pembudidaya ikan.