Ide Wiraswasta Membuat Nugget Sayur Muncul Saat Di PHK dari Perusahaan

Monday 1 October 2012


Diberhentikan sebagai karyawan tak membuat Ade Permana putus asa. Bersama istrinya, ia berwirausaha membuat nugget sayur. Usahanya kini eksis, penghasilannya lebih besar dibandingkan saat menjadi buruh pabrik.

Rumah tipe 36 bercat hijau di Puskopkar Batuaji itu tampak lengang. Seorang anak keluar, diikuti wanita berjilbab. Begitu masuk, tampak sebuah mesin pendingin berukuran sedang di samping pintu masuk. Beberapa panci dan toples besar tertata rapi di sebuah berukuran 1,5 x 2.5 meter yang dipepetkan di pojok rumah.

Isi dapur Sulastri, bisa terlihat dari ruang tamunya. Ada wajan besar berdiameter 50 cm yang didudukkan di atas kompor minyak tanah di sana. Tak lama kemudian, Ade Permana, 33, suaminya, datang. Ia baru saja kembali dari mengantarkan barang dagangannya, yakni keripik tempe dan pisang, kepada langganan mereka di Sekupang. Usaha keripik ini merupakan usaha sampingan yang sedang mereka kembangkan, selain usaha utamanya, nugget sayur.

Di rumah inilah pasangan Ade dan Sulastri memulai usaha nugget sayur. Seperti banyak kisah pelaku usaha, nugget sayur bermula dari tekanan ekonomi yang dialami oleh keluarga Ade dua tahun lalu. Saat itu, ia masih bekerja di PT Fujitex, dan tersiar kabar kalau perusahaan akan merumahkan banyak karyawannya, termasuk Ade.

”Waktu itu bapak merasa, ia akan ikut di-PHK, jadi kami mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk jika hal itu terjadi,” kenang Lastri.
Sebagai seorang buruh, pola pikir bekerja di perusahaan memang sukar untuk disingkirkan. Saat PHK menjelang, itu juga yang dipikirkan Ade. Bagaimana dapurnya tetap mengepul jika iya di-PHK dari perusahaan tempatnya bekerja? Apalagi, ia harus memberi makan istri dan kedua anaknya.
Di satu sisi, Ade tetap ingin bekerja sebagai tukang las, seperti yang ia lakukan di tempatnya bekerja. Namun ada satu hal yang membuatnya berpikir ulang.

”Kalau saya di-PHK dan melamar lagi di perusahaan, saya akan mulai dari bawah lagi dengan pendapatan lebih rendah. Apalagi sistem yang berlaku saat ini kontrak yang diperbaharui tiap enam bulan, maka segalanya serba tidak pasti,” kata Ade.
Di tengah ketidakpastian itu, Ade membulatkan tekad untuk berwirausaha. Ternyata, tekad itu didukung istrinya. Berkat dukungan itu, Ade pun tak takut menghadapi PHK, meski ia sadar ia tak punya pengalaman berdagang.

Maka, Ade dan Sulastri kemudian giat mencari informasi usaha yang cocok mereka jalani dengan modal dan kemampuan yang ada. Dari informasi yang mereka kumpulkan, tercetuslah ide untuk membuat nugget sayur.
”Saat itu, kami lihat potensi pasar kami adalah ibu rumah tangga dan anak-anak. Umumnya, anak kecil kan malas makan sayur, jadi jika sayur dicampur ke dalam nugget, mereka tidak tahu kalau di dalam nugget ada sayurannya,” terang Sulastri.

Kemudian, di semester kedua 2010, PHK yang sudah dibayangkan Ade itu benar-benar terjadi. Ia akhirnya meninggalkan perusahaan tempatnya berkarya selama 15 tahun. Sebagai karyawan permanen, Ade pun diberi pesangon dari perusahaan.
Ade kemudian menggunakan Rp 6 juta dari pesangon itu untuk modal usaha nugget sayurnya. Dengan uang sebanyak itu, ia alat penyegel (sealer), mesin penggiling daging, blender sayur ukuran besar, dan freezer. Dengan mantap, Ade dan Sulastri pun memulai usaha mereka November 2010.

Tak punya pengalaman usaha, mereka pun menjual dagangannya di lingkungan rumah. Ade belum bisa menjual nugget yang disegel karena belum memiliki nonor Pangan Industri Rumah Tangga (P-IRT) dari Dinas Kesehatan. Setelah tiga bulan, bersama dengan 90 UKM di Batam, usaha kuliner Ade yang diberi merek Nugget Sayur Mitra Lima mendapat nomor P-IRT dan dapat dikemas untuk dijual secara luas.
Cara pemasaran yang dipilih Ade dan Sulastri adalah dengan menggunakan sistem agen. Sulastri awalnya menawarkan ke teman-temannya sebagai agen. Ia pun banyak mengikuti pameran produk UKM yang sehingga produknya dapat dikenal masyarakat Batam.

”Usaha nugget ini makin maju sejak dibina oleh Dinas Koperasi dan UKM Batam, Maret 2011. Saya pun mendapat pelatihan bagaimana mengembangkan produknya agar lebih awet dan disenangi pasar,” kata Sulastri.
Di awal pembinaan dengan Dinas Koperasi dan UKM, peroduksi nugget Ade mencapai 200 bungkus yang dijual Rp10 ribu per bungkus.
”Waktu itu sempat booming, banyak yang cari nugget sayur,” ucap Ade.

Saat ini, Ade dan Sulastri memproduksi 100 bungkus tiap harinya yang dipasarkan melalui agen rumah tangga, UKM atau berdagang keliling. Ade mengaku, tinggal 20 persen dari pelanggannya saat booming dulu yang masih setia.
”Kondisi ini kami anggap sebagai tantangan, karena kami lalu mengembangkan usaha keripik pisang dan tempe,” ujar lelaki asal Bandung itu.

Ade dan Sulastri mendorong rekan-rekan buruh yang kerap tak pasti masa depannya dengan sistem kontrak yang berlaku di perusahaan. Dia mengakui, sebagai pekerja ada kepastian upah setiap bulan. Tapi, masa depan pekerja pabrik kerap tak pasti. Kenaikan gaji pun hanya diterima sekali setahun dan jumlahnya tak signifikan. Sementara, sebagai wirausahawan, pendapatan akan bergantung dengan kinerja dan strategi pemasaran yang dipakai.

”Jangan takut sama PHK. Rezeki itu tak hanya di PT. Banyak kesempatan dan peluang meraih sukses di luar pabrik,” kata lulusan STM mesin ini.